Sabtu, 29 Juni 2013 22:15 WIB
YOGYAKARTA. Pameran tunggal tiga seniman Yogjakarta Jumat malam kemarin (31/5) resmi dibuka di Sangkring Art Space Gallery , Bantul, Yogyakarta. Rintik hujan tidak mengurangi meriahnya rilis pameran yang dipandu oleh Trio Kirik; Samuel Indratma, Oei Hong Djien, dan Putu Sutawijaya. Pameran ini digelar mulai Jum’at, 31 Mei hingga Sabtu, 16 Juni 2013. Meski mengusung konsep pameran tunggal, sebenarnya pameran ini tidak benar-benar tunggal. Adalah karya-karya bertajuk “Setunggal; Sepasang Kekasih” Basrizal Albara di halaman depan, “Menawan Hati” Bambang Herras di ruangan di lantai bawah, dan “Beranak – Pinak” Yuswantoro Adi di ruangan di lantai atas Sangkring Art Space. Dengan kata lain, tiga pameran tunggal yang dipamerkan bersama namun di ruangan terpisah.
Sebuah slide melalui proyektor menampilkan dokumentasi seorang pria memegang mesin grenda. Tangannya sibuk mengukir dan memahat motif pada tumpukan batu-batu besar. Kemudian muncul pula gambar ia menari-nari di atas batu ukirannya yang diangkat dengan crane. Pria dalam slide itu adalah Basrizal Albara. Slide tersebut adalah dokumentasi Albara ketika menggarap sebuah mahakarya berupa patung tertinggi yang pernah dibuat di Indonesia.
Inilah mahakarya “Setunggal: Sepasang Kekasih, Pasrah Marang Gusti” karya Basrizal Albara yang menampilkan satu karya berukuran super besar dan tinggi berbahan batu marmer yang disusun berundak-undak. Tinggi dari patung ini mencapai 9 meter dengan ukuran alas 2,5 x 3 meter. Susunan batu terlihat membentuk manusia ‘raksasa’ yang sedang berdiri berpelukan. Patung ini diletakkan persis di halaman depan Sangkring Art Space.
Patung tinggi menjulang ini berupa dua bongkahan batu yang ditumpuk menyerupai pinggul manusia dan ditopang enam batu kokoh yang menyerupai kaki gajah lengkap dengan jari dan pahatan kuku. Di bagian dada dilubangi mirip gambar jantung. Di dua kepala patung pun dipahatkan mahkota. Meski menyerupai dua manusia, patung ini hanya memiliki satu tubuh, sepasang tangan dan satu hati. “Ini adalah narasi penyatuan jiwa dan raga yang matang” ujar Dio Pamola, kurator pameran. “Bagian vital patung ini menyatu seperti kembar siam,” lanjutnya.
Sesuai temanya, berserah pada Yang Maha Kuasa, pasrah marang gusti, motif batik Kawung bergambar bunga Aren dipilih Albara untuk memaknai bahwa kehidupan akan kembali pada alam. Jaman dulu kain batik Kawung digunakan untuk menutupi tubuh orang meninggal. Sepasang kekasih, jalinan asmara dan kasih sayang yang abadi dianggap Albara sebagai gambaran hubungan yang kekal hanya berakhir oleh kematian. Albara mengungkapkan pilihannya menggarap batu-batu besar memiliki tantangan tersendiri. Mahakaryanya ini mungkin bisa disandingkan dengan monumen Stonehenge di Inggris.
Masuk ke ruangan di lantai satu Sangkring Art Space, Bambang Herras, seperti karya-karyanya yang bertajuk “Menawan Hati”, memang menarik perhatian. Ia menampilkan gambar wajah-wajah yang dia kenal, atau orang lain yang mengenalnya, atau masing-masing wajah yang dia gambar saling mengenal. Wajah yang dikenal, bukan hanya oleh Herras, mungkin oleh banyak orang, dan sejumlah wajah lainnya, termasuk juga wajahnya sendiri yang bagi Bambang Herras ‘menawan hati’. Herras ‘menawarkan’ cara baru untuk bersahabat sekaligus berkarya.
Media yang digunakan selain kanvas, ada kayu seukuran pintu rumah. Misalnya, sosok dokter dan pengusaha tembakau, Oei Hong Djien, oleh seniman yang pernah terpilih sebagai nominator 100 Besar Kompetisi Seni Lukis Philip Morris Art Award di tahun 1999 ini dengan ‘menawan hati’ digambar di kayu dengan skala 1:1 menggunakan teknik tatah negatif. “Sepengetahuan saya, teknik tatah negatif ini belum pernah ada yang mencoba,” ujar Herras dalam rilisnya. Ia terlihat bangga dan puas dengan pencapaiannya ini.
“Kalau Heras serius, maka bisa dilihat karyanya bagus dan bisa diandalkan. Artistik juga kan?” kata Samuel Indratama saat memandu pembukaan pameran. Herras juga memajang puluhan karya sketsa. Hampir 80 hasil coretannya, di berbagai media lukis; kertas samson, kanvas dan kayu bulat, yang turut dipajang. Kesemua wajah-wajah yang digambar itu adalah wajah para sahabat yang selama ini, bagi pelukis berambut gondrong ini, mewarnai kehidupannya.
Menuju ruangan atas galeri seni yang terletak di daerah Nitiprayan, Bantul, tepat di ujung tangga sebuah giant banner bergambar foto Yuswantoro Adi sedang berkacak pinggang. Tulisan besar dan unik tercetak di banner ini: “WELKOM NDIK SINI, DI DAERAH KEKUASAAN YUSWANTORO ADI”. Di lantai dua inilah Yus, sapaan akrab Yuswantoro Adi, memamerkan karya lukisnya yang diberi judul “Beranak Pinak”. “Bambang Herras terlanjur sudah dikenal sebagai soulmate saya. Dimana ada Yuswantoro Adi pasti ada Bambang Herras, pun sebaliknya. Kami sepakat mengusung tema berbeda, tapi syaratnya harus saling mengisi, melengkapi bahkan mungkin bersaing. Saya memilih tema Beranak-Pinak,” ujar pelukis yang aktif mengajar di Taman Budaya Yogyakarta.
Mengutip rilis Yuswantoro dalam sebuah narasi bahwa Beranak-Pinak adalah trilogi lukisan: “Meteng Bareng” “Madhang Bareng” dan “Metengi Bareng”. Meteng dalam bahasa Jawa berarti hamil, namun dalam konotasi hamil yang kurang baik karena meteng juga berasal dari kata sifat peteng yang artinya gelap. Madhang juga memiliki dua pengertian: makan dan bersifat menerangi. Lalu apa jadinya setelah hamil dan makan bersama, kemudian menghamili secara bersamaan? Itulah pertanyaan yang mendasari pameran trilogi lukisan ini.
Dengan teknik lukisan halus, pria peraih grand prize Winner Phillip Morris ASEAN Art Award 1997 di Manila ini menggambarkan sosok manusia meteng (hamil). Bukan hanya perempuan yang hamil, Yus sendiri tampil dalam kondisi hamil bersama sejumlah perempuan. Dalam pameran ini, Yuswantoro memang hanya menyajikan beberapa karya ‘hamil’, selebihnya karya lama seperti uang majapahit dan sketsa kertas yang merupakan proses awal sebelum digambar di kanvas.
Melalui karya-karyanya,Yus memaparkan secara visual dan harfiah tentang kehidupan manusia yang berhubungan dengan anak dan beranak. “Sesungguhnya saya ingin mengatakan bahwa kesenian dan kebudayaan ternyata bisa beranak pinak juga. Karya yang melahirkan karya baru. Bereproduksi bahkan berkesinambungan. Tiga lukisan yang saya pamerkan sangat mungkin punya anak, bercucu, dan seterusnya”, katanya. Pria plontos yang karya-karyanya banyak memuat kritik sosial, melalui karyanya kali ini Yus mengungkapkan hidup tidak hanya seputar hamil secara fisik, namun juga persoalan sosial yang dibawa dari kehamilan, tentang pemenuhan kebutuhan (madhang/makan) dan menambah jumlah penduduk.
AYYU M. FIKRIYAH
Feature (bebas)
09.1.01.07.0028
4D